Selasa, 03 April 2012

karena coklat itu coklat


Alhamdulillah. dengan modal "bonek"  blog ini bisa di "launching". kenapa bonek? karna si empunya sebenarnya belum ahli menulis. Akhirnya memberanikan membuat blog karena "iri" dengan teman-teman yg mempunyai blog dan juga hasil "kompor" dari seorang sahabat. Semoga yang sederhana ini bisa memberikan manfaat sebaga amal shalih.

Blog ini saya beri nama: Karena Coklat itu Coklat. Suatu waktu saya membaca sebuah artikel yang berjudul “Karena Coklat itu Coklat”. Saat membaca judulnya saja saya langsung tertarik, hanya karena satu alasan yaitu saya menyukai warna cokelat dan coklat. Dari membaca artikel tersebut, saya terinspirasi untuk menggunakan judul tersebut sebagai nama blog saya suatu saat. Dan bukan hanya karena saya penyuka warna cokelat dan coklat, juga karena isi artikel tersebut yang menarik. Berikut ini isi artikelnya: 


Belakangan, sering kita melihat banyak orang yang menuliskan “Ukhuwah itu semanis coklat”, atau bahkan mungkin “Surga itu selezat coklat”. Mungkin, kalimat-kalimat itu berasal dari mereka yang memang gemar makan coklat. Dengan segala makna kalimat-kalimat tersebut, sebenarnya ada makna lain yang dapat kita ambil dari kata coklat itu sendiri. 

Di sebuah film romantis dari barat, di kisahkan ada seorang dokter yang enggan memakan kacang berbalut coklat dengan wujud yang berwarna-warni, sehingga perilaku unik ini menggelitik tokoh utama perempuan pada saat jumpa pertamanya, sampai memunculkan pertanyaan mengapa? “Karena coklat itu warnanya coklat…” sesederhana itu jawab si dokter yang akhirnya nanti menikah dengan perempuan tersebut. 

Sekilas, jawaban “karena coklat itu coklat” menarik untuk di perhatikan. Satu hal yang dapat kita petik mungkin dari segi kesehatan. Makanan yang tidak di beri zat pewarna tentu relatif lebih sehat di bandingkan dengan makanan yang di beri pewarna. Simpelnya, tentu coklat lebih sehat dan orisinil ketik` ia tetap seperti awalnya, berwarna coklat. Bukan di selimuti pewarna kuning, merah ataupun warna lain.

Di sisi lain, bukankah coklat mengajari kita untuk jujur? Jujur terhadap apa adanya diri kita. Tidak perlu mencari-cari warna lain untuk menutupi “ke-coklat-an” yang kita miliki. Kita mestinya memahami, bahwa coklat itu di gemari bukan karena warnanya, bukan karena bentuknya. Coklat di gemari karena rasanya, ya, rasanya, bukan yang lain. Warna, bentuk, itu hanyalah pemanis yang ternyata tidak seluruh penikmat coklat memperhatikan atau bahkan tidak tertarik dengan pemanis tersebut.

Coklat yang murni hadir dengan segala kesederhanaan. Manisnya pun memiliki sedikit rasa pahit. Seakan mengajari, seorang insan yang shalih tetap saja insan, bukan malaikat yang Allah ciptakan tanpa pernah akan berbuat dosa. Insan, tetap saja insan yang merupakan tempatnya alpa dan kesalahan. Maka, bukankah lebih baik biarkan saja coklat tetap berwarna coklat?

Kita harus mengingat, bahwa Islam tidak pernah mengebiri umatnya. Umar bin Khathab tetaplah seorang yang keras ketika ia memeluk Islam, sampai kalimat fenomenal saat hijrah masih terus menggaungi dan menerbitkan decak kagum di kalangan kita hari ini, “hari ini Umar akan berhijrah, barangsiapa yang ingin istrinya menjadi janda, dan anaknya menjadi yatim, maka temui Umar di balik bukit ini..!”, dan itulah Umar, dengan segala “ke-coklat-an”nya. Utsman bin Affan tetaplah seorang yang pemalu, hingga Rasulullah mengabarkan “Bagaimana aku tidak malu, kepada seorang lelaki yang bahkan malaikat pun malu terhadapnya…” itulah Utsman, dengan segala “ke-coklat-an”nya. Bahkan Abu Darda’ masih terus menggunakan ikat kepala merahnya saat berjihad, yang menurut orang-orang melambangkan kesombongan hingga Rasulullah mengatakan, “sungguh, kalau hal seperti ini bukan untuk di jalan Allah, sudah sangat di benci…” dan itulah Abu Darda’, dengan segala “ke-coklat-an”nya.

Kita mestinya menyadari, bahwa Islam tak pernah memotong keorisinilan pribadi-pribadi kita yang telah Allah berikan sejak awal kita di lahirkan. Bukankah tak perlu menjadi orang lain, untuk kemudian berjuang atau beramal lebih di jalan Allah ini, bukankah cukup menjadi diri sendiri, untuk kemudian beraksi dan terus berkontribusi tulus karena illahi? Tak perlu menjadi orang lain, jadi diri sendiri… sebab coklat itu coklat. Siapa tahu, manisnya surga yang seperti coklat justru terasa lewat keorisinilan setiap pribadi-pribadi kita. sumber: www.dakwatuna.com








Tidak ada komentar:

Posting Komentar