Sabtu, 26 Januari 2013

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA

Kumpulan Catatan Berserak Bang Aad

 

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part I)

Dua Puluh Lima... itu hanya sebuah angka. Sama seperti Dua Puluh Empat atau Dua Puluh Enam. Kalau ada yang menandainya sebagai kawin perak, itu bisa saja lebay. Karena, kenapa bukan Dua Puluh, atau malah Tiga Puluh ? Dapat dipastikan, mustahil ada yang bisa menjelaskannya dengan masuk akal. Kecuali bahwa manusia selalu saja butuh momentum untuk menancapkan tonggak-tonggak.

Tapi, sungguh, jangankan Dua Puluh Lima tahun, berlalu satu tahunpun ingin rasanya saya rayakan besar-besar. Rumahtangga, dan celakanya benar, sungguh-sungguh adalah sebuah bahtera. Ada gelombang, badai dan karang yang hadir bersahutan untuk dilewati. Dalam keletihan melayarinya meliuk-liuk, bukankah Dua Puluh Lima tahun adalah pantas untuk disyukuri lalu diperingati ?

Dua Puluh Lima tahun silam, saya menikahi seorang gadis nekad, putri bungsu dari seorang ibu yang nekad, dan adik dari kakak-kakak yang juga nekad. Ya, apalagi yang lebih nekad dari kesediaan untuk saya nikahi ? Seorang laki-laki yang bahkan ketika itu belum selesai kuliah dan tak punya pekerjaan, lalu menikahinya dengan sebuah mahar pinjaman, dan sebuah jas sumbangan tanpa dasi.

Lalu, jantungnya berdegup keras setiap hari, karena tak pernah ada garansi yang dapat saya berikan bahwa hari ini kita pasti makan. Sampai hari ini, tak kunjung pernah ada garansi. Berarti, ada lebih dari 9.000 hari di mana istri saya, anak-anak saya pucat pasi menanti kemungkinan bahwa esok hari masih ada. Berarti, ada lebih dari 9.000 hari dimana mereka membuktikan keyakinan, bahwa mempercayai Allah jauh lebih menenteramkan daripaya mempercayai suami dan ayah mereka.

Jadi... Dua Puluh Lima tahun adalah angka yang pantas menjadi tonggak untuk berhenti, beristirahat, merenung, bahkan merayakannya. Terlalu banyak alasan untuk bersyukur ketika membayangkan bahwa Iblis telah kalah telak 25 – 0 atas kehendak Allah. Saya memang harus merayakannya, setidaknya lewat tulisan ini, atas kesediaan sang tercinta, Oki Ritawati, menemani saya Dua Puluh Lima tahun lamanya. Karena saya akan melamarnya sekali lagi untuk menemani saya seribu tahun lagi...
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-i/10151423016447783


DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part II)

DIKIRA SEBUAH PENJARA

Sungguh saya tak bohong, awalnya saya tak berani menikah, bahkan tak ingin menikah. Saya terlalu bebas... terlalu liar untuk menikah dan mengikatkan komitmen bersama orang lain. Traveling itu hobby saya, malah dikhawatirkan nyaris kecanduan. Tak terbayangkan bagaimana jadinya nasib hobby melanglang buana itu, jika saya dikungkung oleh sebuah lembaga yang namanya pernikahan. Tidak ! Pernikahan itu istilah lain dari sebuah penjara.

Bahkan rasa itu masih terbawa sepuluh hari menjelang akad nikah. Rasa bahwa kemerdekaan itu akan segera berakhir saya bawa lari ke Yogyakarta, kota terfavorit setiap kaki ingin melangkah ke luar kota. Dengan uang yang sangat minim, saya ingin ucapkan selamat tinggal kebebasan persis di malam tahun baru 1988. Saya tapaki tepian Jalan Soedirman, Mangkubumi, Malioboro, Mataram dan Kotabaru di tengah malam, seolah menyesali apa yang akan terjadi sepuluh hari lagi. Kebebasan seakan menjadi begitu mahal setelah ini.

Untungnya kemanusiaan saya masih siuman. Menikah itu bukan sebuah pilihan. Saya manusia, maka saya harus menikah. Sulit membayangkan andai menikah adalah sebuah pilihan, lalu seluruh manusia memilih tak menikah. Bagi manusia, memilih tak menikah berarti memilih untuk punah. Maka, saya harus menikah, karena saya bertanggung jawab melanjutkan kemanusiaan. Saya harus menikah, karena di tempat lain ada seorang perempuan yang baru bisa memfungsikan rahimnya untuk melahirkan jika saya nikahi.

Mungkin, ada resiko kebebasan yang harus saya korbankan karena pernikahan. Tapi, kemanusiaan lebih penting daripada kebebasan. Toh dari kecil saya telah berlatih mengorbankan kebebasan demi hak-hak orang lain. Saya bebas dan merdeka karena saya manusia, bukan sebaliknya. Lagipula, kebebasan selalu saja melahirkan tanggung jawab. Dan saya tak ingin memikul beban tanggung jawab yang terlalu besar, kerena menikmati porsi kebebasan yang terlalu besar. Maka, saya harus menikah. Segera !!!

Ah... mungkin karena tak ingin mengorbankan kebebasan yang terlalu banyak, maka saya memilih untuk menikah hanya sekali, dengan satu perempuan. Menikah dengan banyak perempuan ? Ini hanya akan membuat bulu kuduk saya merinding. Mungkin saya terlalu pengecut. Mungkin saya terlalu memuja kebebasan. Atau mungkin saya terlalu takut memikul banyak tanggung jawab. Wallah a’lam...
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-ii/10151424550032783 

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part III)

MENIKAH ? SEGERA !!!

Pernikahan kakak kelas, dan rekan seperguruan, telah menggoda nyali saya. Ketika itu menjelang penghujung tahun 1985, dan usia saya masih 21 tahun. Lalu, saya ikrarkan nyali ini ke teman lain : Saya ingin menikah, carikan saya seorang istri !!! Ia, senior saya, saya daulat menjadi Sang Promotor. Tampak ia setengah terperangah, karena ia telah menikah. Karena ia kini tahu bahwa menikah itu tak seindah dan semudah bunyi doktrinnya.

Memang, sejujurnya saya telah termakan sebuah doktrin. Doktrin tentang menikah muda sebagai ibadah untuk membangun batu bata sebuah masyarakat Islami. Dan saya juga termakan sebuah trend : trend tentang para aktivis da'wah yang berebut menikah muda, dan semakin muda. Terbakar nyali mendengar kisah shahabat nabi yang menikah di usia belasan. Namun, ternyata tak semua doktrin itu menyesatkan.  Dan tak semua trend itu bodoh. Untuk doktrin dan trend yang satu ini tak pernah saya sesali hingga kini.

Dua Puluh Satu tahun, tak pernah terlalu muda untuk menikah. Dalam beberapa hal, bahkan terlambat. Ya, terlambat jika dibandingkan dengan organ-organ reproduksi yang telah berfungsi sempurna (baligh) di usia 14 tahun. Memang, hari ini ada fakta : aqil tak lagi sejalan dengan balighnya. Balighnya tepat waktu, sedangkan aqil, dewasa mental, semakin jauh tertinggal. fakta sungsang itu bernama remaja. Namun, rasanya saat itu saya telah aqil. Mungkin karena saya terlalu hobby berpikir, membaca banyak kitab dan memecahkan masalah orang.

Memang, pasti ada yang terkorbankan jika menikah semuda itu. Waktu yang terbelah antara kuliah dengan nafkah, minimnya saat untuk canda dan tergelak bersama teman di tengah malam, atau tersumbatnya gairah menggapai puncak gunung di keletihan senja. Tapi, hidup itu bukan hari ini, justru nanti. Saya kadung percaya bahwa hidup berawal di usia 40, kala kepribadian mengkristal dan spiritualitas memuncak. Maka, saya harus menikah segera !!! Agar di usia para nabi, anak sudah besar-besar dan urusan internal sudah tunai selesai.

Ya, saya harus menikah segera di kala muda. Biarlah saya reguk kenikmatan masa muda itu sedikit saja, karena saya ingin membawa sebagian besar sisanya ke masa tua. Agar saya masih saja ceria di usia 40. Agar saya tetap bergairah di usia 50. Agar saat anak-anak saya beranjak besar, saya masih layak menjadi teman sebaya mereka. Agar saat Allah memanggil saya pulang, saya masih saja seorang pemuda.
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-iii/10151426191252783


DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part IV)

CARIKAN SAYA SEORANG ISTRI

Saya mematut diri... Lalu tiba-tiba saja menyelusup rasa tak percaya diri : adakah yang mau dengan saya ? Rasanya tak ada yang dapat saya jual dari diri saya. Bertubuh kecil, kurus pula. Wajah tak tampan dan tak membawa segepok uang. Lagipula, saya masih seorang mahasiswa yang berkutat dengan buku-buku, sehingga tak punya waktu untuk serius mencari uang.

Yang saya punya cuma nyali. Itu memang milik saya dari dulu, bekal yang dititipkan oleh ibunda tercinta. Nyali itu memang cukup kuat untuk berkata “ini mauku !” kepada seisi dunia. Nyali yang sama ketika saya melawan Kepala Sekolah, menghardik dosen, atau menolak kehendak bunda yang ingin saya jadi dokter. Maka nyali itu yang memaksa saya untuk berkata kepada Sang Promotor,”Carikan saya seorang istri”.

Ya... di samping tak percaya diri, saya memang tak punya waktu mencari istri sendiri. Bak seorang calon petarung, waktu saya habis untuk melatih diri, untuk memantaskan diri. Saya harus konsentrasi untuk menaikkan bobot diri, agar juga mendapatkan istri berbobot. Daripada sibuk berburu istri terbaik, lebih baik berlatih menjadi calon suami terbaik. Allah berjanji : yang terbaik hanya untuk yang terbaik. Saya berpikir, urusan mencarikan istri memang tugas promotor.

Pacaran ? Disamping tak dapat ijin agama, bagi saya pacaran tak menjelaskan apapun tentang jodoh. Teman saya telah pacaran belasan kali, dan hingga hari ini tak menikah. Ada yang pacaran dengan Si A, tapi menikah dengan si B. Pacaranpun tak membuat dua orang menjadi semakin saling kenal. Karena pacaran adalah aksi mempertemukan dua topeng palsu yang menghabiskan waktu.

Jadi, minta dicarikan jodoh adalah putusan paling intelek. Ini tak ada hubungannya denga era Siti Nurbaya. Yang penting, putusan tetap di tangan saya, tanpa paksa. Mencarikan jodoh untuk diri sendiri pasti rumit dan menguras emosi. Sama sulitnya dengan menancapkan jarum suntik ke tubuh sendiri.Akan ada begitu banyak pertimbangan yang lebih mengarah ke bimbang daripada yakin.

Lagipula, apa salahnya meminta bantuan orang lain. Mereka punya banyak kenalan, punya banyak jaringan, punya banyak pilihan. Keterlibatan emosi mereka tak sebanyak kalau harus memilih sendiri. Bahkan, seringkali orang lain  lebih tahu apa yang kita butuhkan daripada diri kita sendiri. Jadi, bismillah...
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-iv/10151428174462783

 

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part V)

APA KRITERIANYA ?

Promotor saya adalah seorang lelaki bijak. Kelembutan hatinya setampan orangnya. Wajar kalau ia tak ingin gegabah mencarikan calon istri untuk saya. Ia sadar, menikah adalah perkara kecocokan dan penerimaan hati. Lagipula, Islam mengharamkan pernikahan yang dipaksakan. Maka, di akhir pertemuan siang itu, ia bertanya sungguh-sungguh :

Apa kriteria calon istri yang kamu inginkan ?

Pertanyaan ini melahirkan bimbang. Betapa tidak, sebagai lelaki jelas saya punya selera, punya segudang kriteria. Saya seorang yang sangat rasional, dan juga sangat pemilih. Bukan hanya itu, saya juga punya visi tentang istri idaman, tentang rumahtangga yang akan dibangun, tentang anak-anak yang akan dibimbing. Hampir saja dari lidah saya melompat untaian-untaian kriteria.

Namun, di sisi lain saya harus segera sadar diri. Baris-baris kriteria hanya akan membuat peluang jodoh saya mengecil. Sebuah hukum statistik telah cukup mengingatkan saya bahwa : Semakin banyak syarat, semakin sedikit peluang ! Rubrik-rubrik jodoh yang saya baca di koran-koran telah benar-benar mempermalukan : mereka tak kunjung dapat jodoh karena panjang syarat. Maka, pertanyaan Sang Promotor saya jawab singkat :

“Kriteria calon istri saya : Perempuan !”

Ia terkekeh. Itu memang kriteria yang tak perlu disebutkan. Yang ia minta adalah yang spesifik, agar ia juga dimudahkan untuk membidik. Lalu, saya tambahkan satu syarat :

“Kriteria kedua : Muslimah ! Itu cukup ! Saya ini dijual murah saja belum tentu laku, apalagi dijual mahal lewat segala kriteria”

Ia sekali lagi terkekeh. Ia memang cukup sabar dengan kebengalan saya.

Sebenarnya saya punya kriteria, ada lima. Tapi cukuplah itu saya sampaikan kepada Allah dalam do’a-do’a malam saya, agar Sang Promotor tak ikut mendengar. Agar ruang geraknya membantu saya tak dipersempit oleh lima kriteria. Biarlah hanya Allah yang mengetahuinya, agar Dia memvalidasinya. Karenya hanya Dia Yang Maha Mengetahui apa yang cocok untuk saya. Jika Dia setuju, itu yang terbaik untuk saya. Jika Dia tak setuju, maka itu yang terbaik untuk saya. Mudahkan, ya Allah...
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-v/10151429940412783


DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part VI)


SANG PLAYBOY FI SABILILLAH

Banting harga, sudah... menyimpan segala kriteria, juga sudah... toh itupun tak membuat jodoh hadir secepat kilat. Ternyata butuh waktu dua tahun dan melewati tujuh calon untuk bertemu Sang Belahan Jiwa. Untungnya saya percaya, jodoh itu bagai rejeki : ia pasti ada, namun harus diperjuangkan. Rejeki tanpa perjuangan, ia hanya akan menjadi potensi di Lauhil Mahfudz. Begitu pula jodoh.

Maka dimulailah petualangan itu, mirip kisah para playboy. Cuma yang ini insya Allah di jalanNya. Sang Promotor menawarkan seorang adik kelas kala SMA, dan dengan serta-merta saya jawab,”Bersedia !”. Saya memang tak hendak memilih, mensortir atau menseleksi. Konsekuensi dari meyakini jodoh di tangan Allah memang harus seperti itu. Bagi saya : Jika berjodoh akan jadi, jika tak jodoh tak akan jadi. Jadi, apa yang harus saya takutkan dengan kalimat,”Bersedia ” ??? dan calon pertamapun Allah putuskan sebagai bukan jodoh.

Lalu, petualangan berlanjut kepada calon kedua, ketiga dan seterusnya. Terkadang hati ini sreg, terkadang biasa saja, terkadang tidak sreg. Namun, sekali lagi, saya ingin mempermudah persoalan. Saya akan terima semua tawaran selama hati saya tak menolak keras. Lihatlah, dipermudah saja masih butuh dua tahun, apalagi jika dipersulit. Wajar jika saya tak habis pikir dengan para lajang yang menghambat jodohnya sendiri lewat berbagai kerewelan.

Mungkin ini untungnya menjadi lelaki yang merasa dirinya sulit laku : tak banyak ulah. Sangat berbeda dengan mereka yang merasa dirinya punya banyak nilai tawar. Sudahlah tampan, kaya, sarjana, merasa taqwa laqi. Sehingga mudah menolak dan menampik, dan berujung dengan nasib melajang seumur hidup. Kalau saya, sangat tahu diri dan mencemaskan sebuah konsekuensi :

“Jika hari ini engkau menolak sekali, besok engkau akan ditolak seribu kali”

Pernah suatu ketika saya ditawari seorang gadis. Rasanya kualitasnya jauh di bawah saya. Tapi, apa yang saya tahu dengan kualitas diri saya dan kualitas dirinya ? Saya tak mungkin menilai buku dari sampulnya. Bukankah ada shahabat nabi yang masuk surga hanya bermodalkan baik sangka ? Bagaimana jika di mata Allah dia jauh lebih mulia dari yang saya kira ? bagaimana jika di mata Allah saya jauh lebih hina dari yang saya duga ? Maka, kala Sang Promotor menawarkannya kepada saya, segera saya jawab,”Bersedia !”. Dan akhirnya gagal juga.
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tehun-sebuah-bahtera-part-vi/10151431766212783



DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part VII)

MATEMATIKA MANGKUK REJEKI

Akhirnya rencana itu terbongkar juga : Saya akan menikah dengan gadis asal batusangkar.  Memang, rencana saya ingin menikah tak diketahui seorang keluargapun, kecuali ibunda dan kakak ibu, seorang yang telah menjadi ibu angkat dengan penuh cinta. Tapi saya orang Minang, di mana mamak (paman) berperan penting dalam urusan keputusan berkeluarga. Dan seorang mamak serta seorang etek (bibi) akhirnya tahu, setelah nenek sang gadis datang bertamu.

Maka malam itu adalah malam pengadilan, bahkan pembantaian. Nyaris babak belur, namun terselamatkan oleh azan shubuh. Pukulan demi pukulan terlontar lewat pertanyaan bertubi-tubi. Ada pertanyaan tentang melangkahi seorang mamak yang tak kunjung menikah, tentang adik dan ayahbunda yang perlu dibantu, atau tentang kuliah yang belum selesai. Tapi pertanyaan tersering adalah tentang kesanggupan memberi nakfah.

Sang Mamak tiba-tiba meminta saya mengeluarkan kalkukator. Beliau meminta saya menghitung, berapa biaya hidup minimal dua anak manusia di sebuah kota mahal semacam Jakarta. Kali ini saya takluk. Kalkulator pasti menghidangkan sebuah logika tak terbantah : butuh penghasilan tetap bernilai ratusan ribu untuk bisa bertahan hidup, menafkahi sebuah amanah.

Tapi ini hidup, bukan logika, apalagi kalkulator. Hidup ini seaneh sepakbola, yang kulit bundarnya sering menghempaskan analisis para komentator. Ah... mamak saya ini rupanya lupa betapa ia sering terselamatkan karena keajaiban hidup telah mengabaikan logika. Maka, saya memang menolak tantangannya, karena iapun dulu menikah tak pakai logika. Rasanya tak harus menikah dulu untuk yakin betapa hidup ini sangat murah hati bagi mereka yang punya nyali. Andai mempercayai kalkulator, sampai kinipun saya wajib melajang.

Lagipula, siapa bilang saya harus menafkahi dua nyawa ? Saya berani memutuskan menikah karena saya telah mampu menghidupi diri sendiri. Sedangkan Sang Istri ? Dia akan saya nikahi dengan membawa rejekinya sendiri, yang dulu Allah titipkan ke rekening walinya. Percayalah, saat ijab-qabul terjadi, rejeki itu akan berpindah ke rekening saya, walinya yang baru. Rejeki istri plus tanggung jawab suami adalah kombinasi yang luar biasa cantik untuk menaklukkan hidup ini. Untuk menaklukkan hidup, urusan saya hanya tanggung jawab, ikhtiar total dan do’a. Sedangkan rejeki, itu seluruhnya urusan Allah !
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-vii/10151433218732783

 

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part VIII)

GIRL FROM BATUSANGKAR

Tak ada perasaan khusus tentang dia, kecuali bahwa dialah yang membuat saya paling lama terkatung-katung, setidaknya satu tahun. Padahal, dialah yang membuat saya banyak berkorban : batal melamar seorang gadis SMA yang dibenci orangtuanya karena berjilbab. Padahal, dialah satu-satunya yang pernah resmi saya pinang, sejauh itu.

Ini kan gara-gara titah Sang Pemimpin Besar agar saya menikahinya. Ia, gadis patah hati dengan segudang aktivitas dakwah, yang lelaki pujaannya ternyata menjatuhkan hatinya ke gadis lain. Sang Pemimpin Besar meminta saya menikahinya untuk menyembuhkan kegalauannya, mungkin karena saya seorang mahasiswa Psikologi. Seperti biasa, saya menjawabnya : “Bersedia !”.

Dan pengorbanan saya ternyata berlipat dua. Ia cacat ! Tangan kanannya bertelapak, tapi nyaris tak berjari. Ayah saya bertanya sepulang meminang,”Tak malu kelak punya istri cacat ?”. Sejujurnya, saya memang gentar, karena sayapun telah mengidap cacat bertubuh kecil. Namun, saya sedang memikul misi mulia untuk menyelamatkan dakwah. Sehingga saya tetap bertekad : “Bersedia !”

Secara resmi pinangan itu diterima, dan disepakati bahwa pernikahan akan berlangsung usai Idul Adha. Sayangnya saya lupa menanyakan tahunnya, sehingga dia seakan berhak menggantung janji. Saya sampaikan gelisah saya kepada Sang Pemimpin Besar, namun ia minta saya bersabar. Selalu saja Sang Pemimpin besar menggombal saat saya habis sabar, sehingga saya tetap berkata : “Bersedia !”

Bahkan saya pernah berkorban perasaan, gara-gara harus menulis surat cinta untuknya. Padahal di hati ini sama sekali tak ada cinta. Ini ulah saran Pak Ketua, konon agar gadis itu tak khianat janji. Itu memang surat yang hanya akan membuat saya merah padam, karena dia membalasnya ketus : “Tak ada cinta sebelum nikah !”. Ah, ini tak mirip pinangan. Ini semacam kisah Nabi Ayyub yang didera cobaan demi cobaan.

Ya, ternyata ini memang sebuah ujian akhir dariNya, mengukur keseriusan seorang hamba untuk berumahtangga. Ini wajar, karena kelak Dialah yang akan menyantuni setiap rumahtangga. Tampaknya saya lulus ujian, karena pinangan yang batal ini telah membuat jalan sesudahnya menjadi begitu lapang. Ada begitu banyak ujian dari Allah. Namun jawabannya cukup satu : “Bersedia !” 
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-viii/10151435016102783

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part IX)


MANA CALON SAYA ?

Pernah saya cukup lama tak ditawari calon istri. Terus terang, itu membuat saya jengkel. Beberapa calon sebelumnya telah batal dengan berbagai alasan. Sebenarnya alasannya cuma satu : tak jodoh. Mungkin itu sebabnya Sang Promotor mulai selektif menawarkan calonnya kepada saya. Maka dengan sedikit ketus saya menagih janji selepas Maghrib :

“Mana calon untuk saya ?”

Dengan nada sedikit diplomatis ia mencoba menjelaskan. Terkesan agak menyanjung, tapi saya tahu dia tulus :

“Saudaraku, saya sadar kamu bukan aktivis sembarangan. Jadi, sayapun berusaha mencarikan yang terbaik. Sabarlah sejenak...”

Sayangnya saya tak cukup tersanjung. Bagi saya, ditawari beberapa calon namun harus gagal berkali-kali, itu lebih baik daripada ditawari seorang calon dan ternyata langsung berjodoh. Bukan apa-apa, jodoh itu sepenuhnya rahasia dan keputusan Allah. Mendapatkan calon langsung berjodoh itu bukan prestasi. Yang menjadi ibadah saya adalah jika saya ikhlas dan sabar atas jodoh tak sampai.

Saya memang tak pernah mengerti yang dimaksud dengan “yang terbaik”. Dalam urusan jodoh, bukankah yang terbaik itu adalah yang tercocok ? Dan, untuk urusan kecocokan, bukankah hanya Allah Yang Tahu siapa yang paling cocok untuk seorang hambanya ? Yang tercantikkah yang tercocok untuk saya, atau yang tercerdas ? Jangan-jangan yang tercocok untuk saya adalah yang tersabar ?

Ah... Sang Promotor... “Cocok” itu memiliki terlalu banyak hukum. Kadang, sesuatu itu cocok karena memiliki banyak kesamaan : Law of Similarity. Adakalanya cocok itu disebabkan karena punya sejumlah kedekatan : Law of Proximity. Di saat tertentu cocok terjadi karena saling melengkapi : Law of Closeness. Tapi, jangan lupa, cocok bahkan bisa terjadi karena adanya pertentangan : Law of Contrast.

Jadi, please... kita sama-sama orang psikologi. Tapi mari kita simpan ilmu kita, karena ini perkara ghaib. Mari kita serahkan urusan kecocokan kepada Allah. Lalu, saya akan minta maaf kepada anda karena telah meminta anda menjadi Sang Promotor, tapi bersamaan dengan itu malah mereweli tindakan-tindakan dan segala ikhtiar anda. Astaghfirullah...
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-ix/10151436739612783

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part X)

TERNYATA DIA TAK JAUH DARI SAYA

Saya masih ingat, saat itu sepulang shalat Jum’at di sebuah lembaga pendidikan bahasa Arab milik Kerajaan Saudi Arabia. Saya sengaja shalat Jum’at di sana untuk melapor kepada Pak Ketua, bahwa tadi pagi Sang Pemimpin Besar inginkan saya menikah dengan seorang gadis Tangerang. Hati saya sedang berbunga, karena Sang Promotor justru tak kunjung menawarkan calon kepada saya.

Sayangnya saya harus menyimpan kecewa. Pak Ketua ternyata punya calon lain buat saya. Baiklah, saya menurut. Tapi tolong segera pertemukan saya dengan si calon. Maka, menunggang tiga buah sepeda motor, kami berempat menuju rumah si calon. Hasilnya negatif. Saya keluar dengan wajah kecewa. Dan seorang teman seperguruan berusaha menghibur dengan sebuah solusi :

“Saya akan tanyakan adik saya. Mudah-mudahan dia siap menikah...”

Saya tak bisa menyembunyikan gembira. Saya tahu sahabat dekatku ini punya seorang adik. Ia cantik dan memiliki hampir seluruh kriteria yang saya mimpikan. Saya sering memberikan pengajian di rumahnya, dan sesekali melirik harap kepada sang adik. Sayang, selama ini ia tak pernah menawarkan adiknya kepada saya. Mungkin karena  si ragil itu belum siap nikah.

Tapi, itulah.... Boleh jadi jodoh itu tak jauh dari kita. Ia hadir di samping, tapi tak tampak. Ia berkali-kali berlalu persis di depan mata, tapi kita tampik. Allah tak pernah kikir menawarkan jodoh bagi hambaNya, tapi hambaNya terlalu sombong menerima uluran tanganNya. Allah tawarkan banyak pilihan, tapi kita kokoh dengan selera. Jodoh itu hadir dipelupuk mata, tapi mata kita justru menerawang jauh ke seberang lautan.

Jodoh itu seringkali begitu dekat, tapi iblis juga tak kalah dekat. Ia bahkan hadir di pelaminan, agar ijab-qabul urung terjadi. Ia meniupkan ragu agar nikah tak pernah mudah. Nikah itu bernilai setengah agama, dan iblis tahu persis itu dengan sepenuh geram. Ia gelapkan mata para lajang, agar hati itu tak pernah sadar bahwa sang jodoh telah lama menanti persis di tulang rusuknya sendiri.

Tampaknya penantian itu akan segera berakhir. Dua tahun cukup sudah untuk menjadi seorang “Playboy” fii sabiilillah. Saat itu usia saya telah 23 tahun, dan mulai sadar bahwa ada bingkai hati yang Allah peruntukkan buat saya. Ia sangat dekat : adik kandung dari teman dekat saya sendiri.
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-x/10151438680042783

 

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part XI)


INI SOAL NIKAH, BUKAN SOAL CINTA

Seperti biasa, saya datang dengan jantung berdegup. Bilik yang satu berdegup harap, karena saya Alhamdulillah tak pernah kekurangan optimisme. Tapi bilik yang satu lagi berdetak cemas. Maklumlah, telah tujuh yang terlewati, satu diantaranya sempat dilamar, dan seluruhnya berakhir gagal. Ini bukan acara lamaran, tapi penjajagan...

Kami : saya, Pak Ketua dan Sang Promotor, tiba di rumahnya sekitar jam empat sore, disambut oleh seorang ibu yang sangat ramah, terkesan terpelajar, dengan sikap dan tutur sangat terukur. Suaminya sendiri telah lama wafat. Mungkin karena disambut dengan hati terbuka, maka Pak Ketua seperti tak sabar. Tiba-tiba ini tak lagi penjajagan, tapi sebuah lamaran. Ia pun terpaksa hadir di ruang tamu, begitu lembut, untuk memberikan jawaban :

“Aku pertimbangkan dulu...”

Bilik cemas kali ini berdegup lebih kencang...

Sampai di rumah, ibu angkat saya bertanya,”Kamu mencintainya ?” Bagi saya, pertanyaan ini sedikit membingungkan. Saya ingin menikah, bukan ingin berpacaran. Yang saya tahu pasti, berpacaran memang selalu berawal dari cinta. Tapi, menikah ? Ada yang menikah dengan cinta membara, lalu bercerai setahun kemudian. Sedangkan nenek dan adik nenek saya menikah tanpa cinta, lalu menjalaninya dengan langgeng, penuh cinta dan kasih sayang.

Betapa sulitnya menikah ketika cinta menjadi syaratnya. Saya pernah dua kali terkapar jatuh cinta, dan tak satupun menjadi istri saya. Semuanya terjadi saat saya masih SMA. Celakanya, keduanya seakan sepakat tak mencintai saya. Cinta itu milik hati, sedangkan hati itu milik Allah. Lalu, bagaimana caranya bisa mengambil alih milik Allah ? Saya bisa membeli mahar, tapi bagaimana caranya membeli cinta ? Jadi, cintakah yang menjadi syarat menikah, atau menikah yang menjadi syarat cinta ?

Saya memilih yang kedua : menikah dulu, baru jatuh cinta. Lagipula, bagaimana mencintai seorang gadis yang saya hanya sempat meliriknya tak sampai lima kali dan tak sekalipun menyapanya ? Dan rupanya pilihan itu Allah ridhai, karena sebulan kemudian ada sebuah jawaban : “Aku terima...”
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-xi/10151440241472783 

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part XII)

AKU TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA...

Saya duduk di teras rumah itu, termangu cemas menanti keputusan Allah. Rumah itu kecil, di dalam sebuah gang kawasan Klender. Akad nikah memang akan dilakukan di teras itu, karena ruang tamu diperuntukkan bagi tamu perempuan. Cemas itu memang sengaja saya bawa hadir, justru agar tak terlalu terkejut andai pernikahan ini tak jadi. Dua tahun terakhir Allah memang mendidik saya untuk selalu siap dengan resiko paling buruk.

Sang Murabbi, ustadz Rahmat Abdullah, telah mulai dengan khutbah nikahnya. Harusnya memukau, karena beliau memang selalu begitu. Sayangnya saya lebih banyak menerawang daripada menyimak. Satu-satunya yang saya simak dengan khusuk adalah kalimat ijab-qabul yang diucapkan kakak calon istri saya, sehingga mampu saya jawab dengan pasti :

“Aku terima nikah dan kawinnya Oki Ritawati binti Dikun Kromowidjojo, dengan mas kawin berupa mushaf AlQur’an dan seperangkat alat shalat dibayar tunai...”

Akhirnya saya menikah juga. Nyaris tak percaya...

Hari ini, 10 Januari 1988, saya mengambil alih tanggung jawab itu, tanggung jawab atas gadis bernama Oki Ritawati. Namanya ternyata bukan Oki Ritawati, tapi Oki Ritawati binti Dikun Kromowidjojo. Nama itu harus saya baca lengkap-lengkap dalam satu tarikan nafas. Ia adalah anak bapaknya, dan selamanya begitu. Ia anak Dikun, berdarah Dikun, dididik Dikun, dan berbudaya Dikun. Berbeda dengan saya : anak Ruskam, berdarah Ruskam, dididik Ruskam dan berbudaya Ruskam. Artinya, pernikahan ini harus bermula dari kesadaran : kita berbeda. Maka, mari kita saling mengenal, istriku...

Agak aneh memang, bahwa kami baru akan saling mengenal setelah akad nikah ini. Ya, bahkan wajahnya saja saya belum terlalu hafal, masih agak samar-samar. Tapi, bukankah saling mengenal itu memang baru efektif setelah akad nikah, setelah semua topeng dibuka ? Sedangkan sebelum menikah ? Ah, itu saling promosi namanya, bukan saling mengenal.

Mungkin ada beberapa Oki Ritawati di bumi ini. Tapi ini adalah Oki Ritawati binti Dikun Kromowidjojo. Berarti dia lain dari yang lain. Sesuatu yang unik dan istimewa. Saya harus menerimanya secara utuh : dirinya, masa lalunya, mimpinya, dan keluarganya. Sebagaimana janji saya : “Aku terima nikah dan kawinnya...”
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-xii/10151442096597783 

 

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part XIII)

KEPUTUSAN ALLAH... BERHAK KAH KAMI MEMBATALKANNYA ?

Akad itu sudah terucap, beberapa menit lalu. Teman saya memaksa saya mengucapkannya dalam bahasa Arab, dipandu oleh tulisan tangan di kertas selembar. Tampaknya seperti kalimat transaksional biasa, makanya saya mampu mengucapkannya, atau membacanya, dengan lancar. Kebetulan saya sedikit mengerti bahasa Arab, orang yang pernah berguru kepalang ajar.

Mengucapkan ijab-qabul dalam bahasa Arab membuat saya terkejut. Kenapa kalimatnya dalam fi’il madhi : past tense ? Kenapa bukan present tense ? Ya Rabbi... saya baru sadar, ini ikrar, bukan pernyataan biasa. Ini adalah kalimat yang baru boleh diucapkan ketika hati telah benar-benar yakin. Betul, lisan hanya melafalkan apa yang telah diucapkan oleh hati, sebelumnya.

Oleh hati ? Berarti lagi-lagi ini berurusan dengan keputusan Allah ? Bukankah, sekali lagi, hati itu milik Allah ? Masya Allah, ijab-qabul yang baru saja saya ucap bukan sekadar kontrak sosial antara dua anak manusia yang bersepakat. Ini adalah keputusan Allah, yang terucap oleh bibir manusia. Jadi, bolehkah saya suatu ketika dengan seenaknya membatalkannya, lewat cerai, tanpa ijinNya ???

Doa pun berkumandang, dibacakan khusyu’ oleh Ust. Rahmat Abdullah :

“Wahai Allah... jinakkanlah hati keduanya sebagaimana Engkau jinakkan antara hati Adam dan Hawa... Dan jinakkanlah hati keduanya sebagaimana Engkau jinakkah antara hati Yusuf dan Zulaikha... Dan jinakkan hati keduanya sebagaimana Engkau jinakkan antara hati Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan Khadijah AlKubra.” Amiin...

Saya menangis. Ini berat ! Ini pertemuan dua hati yang dijinakkan oleh Allah, karena hanya Allah yang mampu menjinakkan hati : makhluk Allah paling liar yang bersemayam di dada. Patutlah menikah itu tak pernah mudah. Ah, kufur nikmat saya rasanya jika semena-mena membatalkannya. Betul, sayalah yang bersalaman dengan kakak istri saya. Namun, tangan Allah di atas tangan kami berdua
.
Kini, saya menerima ucapan selamat dan do’a dari para tamu, satu-satu. Mereka mendoakan agar barokah Allah terlimpah bagi kami berdua dalam senang dan susah, agar Dia menyatukan kami dalam kebaikan. Dia yang menyatukan kami, dan hanya Dia pulalah yang berhak memisahkan kami, bukan kami atau siapapun.
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-xiii/10151444309007783

 

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part XIV)

MAHAR ITU...

Dalam lamunan yang menerawang, sekilas tersimak khutbah nikah dari Ustadz Rahmat Abdullah. Beliau bicara tentang rukun nikah, dan diantaranya adalah mahar : mas kawin. Mahar adalah benda bernilai ekonomis, ujar beliau. Seharusnya bukan benda simbolis seperti mushhaf AlQur’an atau alat shalat. Karena mahar adalah representasi hak seorang istri atas dirinya, hartanya dan kehormatannya. Setelah menikah, istri tetap punya hak privat, pesannya lagi.

Saya tersindir. Mahar yang saya berikan adalah benda simbolik, itupun pemberian kawan. Istri saya sebenarnya meminta cincin emas, sayang saya tak mampu. Dan iapun pasrah. Pasrah memang syarat untuk menikah dengan saya, karena saya adalah seorang petarung dan petualang hidup. Allah menghadiahi saya seorang istri yang pasrah, tapi saya gagal menghadiahinya mahar yang layak. Itu tak sepadan dan memalukan. Untungnya mahar itu dibayar tunai.

Setelah ijab-qabul saya serahkan mahar itu dengan muka merah padam. Mahar adalah deklarasi kemampuan suami menafkahi istrinya. Dan ternyata kemampuan saya hanya segitu. Amboi, cukuplah hari ini saya mempermalukan diri sendiri dengan mahar yang sangat kecil, tapi harus disebutkan keras-keras dan didengarkan oleh seluruh saksi dan tamu. Berhutang saya rasanya. Dan insya Allah akan saya bayar segera lewat nyali dan tanggung jawab. Percayalah istriku, kedua hal itu adalah kekuatanku, suamimu.

Saya tak serahkan mahar itu kepada walinya, tapi langsung kepada istriku.. Ya, pernikahan memang bukan jual-beli, dan mahar memang bukan harga sebuah transaksi. Mahar, adalah sebuah harga diri. Tentunya bukan harga diri penerima mahar, tapi harga diri pemberi mahar. Wajar kalau saya serahkan padanya dengan tersipu di ruang tamu. Cantik sekali dia, seperti gadis SMP berbalut gamis kuning keemasan jahitan ibunya.

 Akhirnya saya menatap wajahnya dengan jelas untuk pertama kalinya, sungguh. Ini tak terjadi di abad pertengahan, tapi pada 10 Januari 1988. Kami lalu berwudhu’ dan shalat sunnah dua raka’at. Saya imam dan dia makmum. Rupanya mahar tadi telah membuatnya menjadi makmum. Sebagai makmum, ia wajib taat, sekaligus berhak menegur dan meluruskan saya. Usai shalat, sebagai imam saya bacakan doa untuknya, sambil menyentuh dahinya. Saya ralat doa itu berkali-kali, karena gemetar, grogi, kagok bahkan panik. So sweet...
http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-xiv/10151447712217783

 

DUA PULUH LIMA TAHUN SEBUAH BAHTERA (Part XV)

KAMI  BERHUTANG, WAHAI PARA SAKSI...

Pernikahan saya memang unik. Bahkan petugas KUA pun tak hadir. Ia memang datang tadi pagi, tapi mempersilakan kami akad nikah tanpa kehadirannya. Rupanya ia harus menjadi petugas nikah di tempat lain. Jangan buruk sangka, ia bukan serakah. Ia hanya begitu percaya akan kemampuan kami melakukannya sendiri. Maklumlah, salah seorang putrinya adalam murid istri saya.

Maka, akad nikah ini begitu tak formal. Tak ada seremonial, tak ada shigat ta’liq. Saksinya adalah seluruh tamu yang hadir, bukan dua orang terpilih seperti biasa. Alhamdulillah, seluruh tamu yang duduk di teras rumah bersedia menjadi saksi. Terima kasih tak berhingga wahai saksi. Tanpa kalian, nikah kami tak akan sah. Karena kalian adalah bagian dari rukun nikah.

Terima kasih wahai para saksi... Hari ini saya sadar, nikah sirri itu tak pernah ada. Tak ada nikah yang dapat disembunyikan. Karena, tak ada pernikahan yang bisa sah tanpa kehadiran kalian. Memang, saya menyembunyikan pinangan, seperti ajaran Rasulullah. Tapi saya tak mungkin menyembunyikan pernikahan, karena itu dilarang Rasulullah. Maka, wajar jika saya sempat cemas, saat kalian belum juga mengangguk kala ijab-qabul saya ikrarkan. Untunglah akhirnya kalian berkata :

“Sah... Sah !!!”

Alhamdulillah... Jazaakumullah khairan katsiiran. Semoga saya dan istri tak akan mengecewakan kalian, dan pernikahan kami menjadi barokah bagi kalian : orang-orang yang telah membuat pernikahan kami sah... orang-orang yang telah membuah hubungan kami menjadi halal. Sungguh, kalian bukan pengembira hari ini, kalian adalah saksi kami kelak di hadapan Allah. Kalian adalah salah satu pilar terpenting untuk setiap pernikahan. Salam takzim kami untuk kalian, atas do’a kalian, atas restu kalian.

Hari ini, saksi pernikahan kami cukup banyak, lebih dari lima puluh orang. Mereka akan menjadi tempat kami bertanya dan meminta nasihat. Mereka akan menjadi hakim bijak kami, andai kelak kami bertengkar. Para saksi adalah orang-orang yang mensahkan pernikahan kami, dan mereka harus senantiasa hadir dalam seluruh kehidupan kami. Tak tahu membalas budi rasanya jika untuk menikah kami butuh saksi, namun untuk berpisah kami mengabaikan mereka, dengan alasan “ini masalah internal”. Kami berhutang, wahai para saksi...
 

http://www.facebook.com/notes/adriano-rusfi/dua-puluh-lima-tahun-sebuah-bahtera-part-xv/10151449435852783