Rabu, 24 April 2013

Ancaman Kesia-siaan



Para pahlawan mukmin sejati harus ekstra hati-hati dengan kepahlawanannya sendiri. Mereka harus membiasakan diri untuk mencurigai diri mereka sendiri; sebab jauh lebih penting dari sekedar menjadi pahlawan adalah memastikan, bahwa karya-karya kepahlawanan kita diterima di sisi Allah SWT, sebagai pahala yang akan mengantarkan kita meraih ridho-Nya dan masuk ke surga-Nya.

Manusia hanyalah user atau penikmat dari karya-karya kepahlawanan kita. Mereka sama sekali tidak mempunyai otoritas untuk menentukan, apakah karya itu diterima atau ditolak di sisi Allah SWT. Syarat penerimaan itu ditentukan sendiri oleh Allah SWT; niat yang ikhlas untuk Allah SWT, dan cara kerja yang sesuai dengan sunnah Nabi.

Para pahlawan mukmin sejati menyadari sedalam-dalamnya untuk siapa sebenarnya ia bekerja. Mereka menyadari adanya ancaman kesia-siaan; kerja keras di dunia yang kemudian ditolak di akhirat, seperti firman Allah SWT, “Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api neraka yang sangat panas (neraka).” (QS Al Ghasyiyah: 2-4).

Dalam perjalanan ke Palestina setelah pembebasan al Quds, Umar bin Khattab berhenti sejenak menyaksikan seorang pendeta yang sedang khusyuk beribadah. Kemudian Umar menangis tersedu-sedu, sembari membaca ayat di atas, “Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api neraka yang sangat panas (neraka).”
Gemuruh tepuk tangan pengagum, sanjungan mematikan para pengikut, dukungan obyektif para pengamat, atau bahkan tembakan salvo pada hari penguburan, adalah obyek yang harus dicurigai para pahlawan; sebab merasa menjadi pahlawan bisa merusak niat mereka. Demikian juga dengan cara kita menuntaskan karya kepahlawanan kita; pembenaran orang lain tidak akan berguna di mata Allah SWT kalau ternyata pekerjaan itu memang salah menurut sunnah.

Para pahlawan mukmin sejati adalah pekerja keras yang menunaikan janji kepahlawanannya dalam diam., menyelesaikan karya-karyanya dengan semangat kebenaran sejati. Mereka jujur kepada Allah SWT, kepada diri sendiri serta kepada sejarah. Mereka tidak tertarik dengan hingar-bingar, pengakuan public, atau sorotan kamera, sebab itu bukan tujuannya, sebab itu bukan kebanggaannya.

Di hadapan ancaman kesia-siaan itu mereka menemukan kekuatan untuk mengasah kejujuran batinnya secara terus menerus, mengoreksi pekerjaan-pekerjaannya secara berkesinambungan; sebab dengan begitulah mereka mempertahankan keikhlasan dan kerendahan hati di depan Allah SWT, mematikan luapan kebanggaan setelah prestasi-prestasi besarnya, sembari berdoa diantara deru kecemasan dan harapan agar Allah SWT berkenan menerima mereka sebagai pahlawan-pahlawan-Nya.

Para pahlawan mukmin selalu mengenang saat-saat yang paling mengharu-biru dari kehidupan Umar bin Abdul Azis; beberapa saat menjelang hembusan nafasnya yang terakhir, pahlawan besar itu membaca firman Allah SWT, “Dan itulah negeri akhirat, yang Kami sediakan untuk orang-orang yang tidak menginginkan keangkuhan di muka bumi, juga tidak menginginkan kerusakan.” (QS Al Qashash: 83)


( mHa )

*copas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar