Terik
matahari di hari ahad ini, aku melihat senyum merekah di wajahmu. Kau tampak
sangat cantik dengan balutan kebaya putihmu. Duduk disebelahmu seorang pemuda
yang telah kau pilih untuk membersamaimu menggenapkan separuh dienmu, seorang
yang menggantikan tanggung jawab ayahmu, dan dengannya kau akan bersama-sama
menggapai jannahNya. Insyaallah.
Masih teringat jelas dalam benakku,
sekitar 24 purnama yang lalu. Saat itu kau harus memendam
perasaan dan gejolak
hati pada seorang pemuda. Aku tau, sesungguhny kau sangat tak menginginkan rasa
itu hadir kan? Hingga pernah terbesit kau ingin keluar dari tempat kerja kita
(saat itu). Kau tak sanggup bertemu dengannya, karena hal itu membuatmu tak bisa
membendung rasa yang sudah terlanjur hadir. Kondisi itu menyeretku menjadi
orang yang berada ditengah-tengah kalian berdua. Bukan inginku, terlebih karena
dia teman baikku dan kau juga. Menjadi fasilitator atas “konflik hati” kalian
berdua. Sungguh tak enak rasanya menjadi “pihak tengah”, disisi lain karena aku
juga seorang perempuan yang manusiawi menginginkan rasa kita tak bertepuk
sebelah tangan, tapi disisi lain aku juga tak bisa “memaksa” sebongkah hati dia
untuk menyambut rasamu padanya, bukan karena kau tak sholihah teman! Tapi saat
itu dia belum berencana menikah dalam waktu dekat karena harus menyelesaikan
studi (lanjut) S1 nya
sebagai syarat dari ortunya. Apalagi ketika kau bilang bahwa aku lebih cocok
jika disandingkan dengan dia, ketika aku tanya kenapa? Kau menjawab bahwa kami
sekufu, sama-sama ini dan itu. Kau tidak tau, sebenarnya ketika aku menjadi “pihak
tengah”, hingga kabar
tentang aku, kau dan dia seperti menjadi sebuah “tema bahasan” di teman-teman kerja kita, membuat otak dan hatiku
berkecamuk.
Sering aku melihat semburat wajahmu
yang mendung kala itu, pasti kau sedang berperang dengan hatimu sendiri, juga
melawan kecemburuanmu, kecemburuan karena anggapanmu tentang “kekompakan” aku
dan dia. Masih ingat dengan kecemburuanmu yang saat itu tidak sengaja aku dan
dia memakai baju yang warnanya sama-sama merah marun? Kau sempat menyeletuh, “kalian
kompakan bajunya ya?”, dan masih banyak hal-hal kekompakan kami berdua yang
sebenarnya tidak sengaja, tapi karena dangan asumsi-asumsimu, menjadi
penyebab dirimu cemburu
padaku.
Orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh
hatinya sendiri. Sibuk merangkai
semua kejadian disekitarnya untuk membenarkan hatinya. Sehinggga suatu ketika
ia tidak tahu lagi mana simpul nyata dan mana simpul yang dusta.
Kata teman-teman dan
kau, aku dan dia banyak persamaan, mungkin itu bisa terjadi karena dulu ketika
kami dikampus, walaupun beda angkatan kami sama-sama pernah dibesarkan di organisasi yang
sama (aku dan dia baru mengenal ketika kami ditempat kerja yang sama), dan
otomatis kami mengalami pola pengkaderan yang sama. Setiap kali kau
bertanya padaku tentang aku dan dia, aku selalu menyakinkanmu bahwa tidak ada
yang perlu kau risaukan tentang kami. Hingga pada batas asamu, saat rasa itu
benar-benar tidak bersambut, kau
menyampaikan padaku
bahwa kau akan menikah setelah aku, dia
menggenapkan dien.
Subhanallah, ternyata Allah
berkehendak lain. Hari ini sejarah telah mengunkapnya, takdir Allah berkata
bahwa kau yang lebih dulu menggenapkan dien-mu. Bahagia tak terkira rasanya
ketika mendapat kabar
darimu. Kau telah menemukan labuhan hatimu, bukan dia tapi pemuda yang
insyaAllah lebih tepat menjadi imammu. Sepenuh harapan dan doa teriring untukmu
dan pemuda sholih itu (insyaallah). Barakallahulakuma wabaraka ‘alaikuma
wajama’a bainakuma fii khoir. Sakinah, Mawaddah. Warahmah semoga senantiasa melingkupi keluarga
barumu.
Menjadi saksi sejarah, 281012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar