Senin, 05 November 2012

Menjadi Saksi Sejarah


Terik matahari di hari ahad ini, aku melihat senyum merekah di wajahmu. Kau tampak sangat cantik dengan balutan kebaya putihmu. Duduk disebelahmu seorang pemuda yang telah kau pilih untuk membersamaimu menggenapkan separuh dienmu, seorang yang menggantikan tanggung jawab ayahmu, dan dengannya kau akan bersama-sama menggapai jannahNya. Insyaallah.
Masih teringat jelas dalam benakku, sekitar 24 purnama yang lalu. Saat itu kau harus memendam perasaan dan gejolak hati pada seorang pemuda. Aku tau, sesungguhny kau sangat tak menginginkan rasa itu hadir kan? Hingga pernah terbesit kau ingin keluar dari tempat kerja kita (saat itu). Kau tak sanggup bertemu dengannya, karena hal itu membuatmu tak bisa membendung rasa yang sudah terlanjur hadir. Kondisi itu menyeretku menjadi orang yang berada ditengah-tengah kalian berdua. Bukan inginku, terlebih karena dia teman baikku dan kau juga. Menjadi fasilitator atas “konflik hati” kalian berdua. Sungguh tak enak rasanya menjadi “pihak tengah”, disisi lain karena aku juga seorang perempuan yang manusiawi menginginkan rasa kita tak bertepuk sebelah tangan, tapi disisi lain aku juga tak bisa “memaksa” sebongkah hati dia untuk menyambut rasamu padanya, bukan karena kau tak sholihah teman! Tapi saat itu dia belum berencana menikah dalam waktu dekat karena harus menyelesaikan studi (lanjut) S1 nya sebagai syarat dari ortunya. Apalagi ketika kau bilang bahwa aku lebih cocok jika disandingkan dengan dia, ketika aku tanya kenapa? Kau menjawab bahwa kami sekufu, sama-sama ini dan itu. Kau tidak tau, sebenarnya ketika aku menjadi “pihak tengah”, hingga kabar tentang aku, kau dan dia seperti menjadi sebuah “tema bahasan” di teman-teman kerja kita, membuat otak dan hatiku berkecamuk.
Sering aku melihat semburat wajahmu yang mendung kala itu, pasti kau sedang berperang dengan hatimu sendiri, juga melawan kecemburuanmu, kecemburuan karena anggapanmu tentang “kekompakan” aku dan dia. Masih ingat dengan kecemburuanmu yang saat itu tidak sengaja aku dan dia memakai baju yang warnanya sama-sama merah marun? Kau sempat menyeletuh, “kalian kompakan bajunya ya?”, dan masih banyak hal-hal kekompakan kami berdua yang sebenarnya tidak sengaja, tapi karena dangan asumsi-asumsimu, menjadi penyebab dirimu cemburu padaku.
Orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian disekitarnya untuk membenarkan hatinya. Sehinggga suatu ketika ia tidak tahu lagi mana simpul nyata dan mana simpul yang dusta.

Kata teman-teman dan kau, aku dan dia banyak persamaan, mungkin itu bisa terjadi karena dulu ketika kami dikampus, walaupun beda angkatan kami sama-sama pernah dibesarkan di organisasi yang sama (aku dan dia baru mengenal ketika kami ditempat kerja yang sama), dan otomatis kami mengalami pola pengkaderan yang sama. Setiap kali kau bertanya padaku tentang aku dan dia, aku selalu menyakinkanmu bahwa tidak ada yang perlu kau risaukan tentang kami. Hingga pada batas asamu, saat rasa itu benar-benar tidak bersambut, kau menyampaikan padaku bahwa kau  akan menikah setelah aku, dia menggenapkan dien.  
Subhanallah, ternyata Allah berkehendak lain. Hari ini sejarah telah mengunkapnya, takdir Allah berkata bahwa kau yang lebih dulu menggenapkan dien-mu. Bahagia tak terkira rasanya ketika mendapat kabar darimu. Kau telah menemukan labuhan hatimu, bukan dia tapi pemuda yang insyaAllah lebih tepat menjadi imammu. Sepenuh harapan dan doa teriring untukmu dan pemuda sholih itu (insyaallah). Barakallahulakuma wabaraka ‘alaikuma wajama’a bainakuma fii khoir. Sakinah, Mawaddah. Warahmah semoga senantiasa melingkupi keluarga barumu.
Menjadi saksi sejarah, 281012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar